WEALTH

When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, all is lost.

SEEKING

The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.

SMOKE

One may have a blazing hearth in one's soul and yet no one ever came to sit by it. Passers-by see only a wisp of smoke from the chimney and continue on their way.

WEAPON

The most valuable possession you can own is an open heart. The most powerful weapon you can be is an instrument of peace.

SORENESS

Holding on to anger, resentment and hurt only gives you tense muscles, a headache and a sore jaw from clenching your teeth. Forgiveness gives you back the laughter and the lightness in your life.

Jumat, 27 Oktober 2017

SURAT KESERATUS


SURAT KESERATUS.
Untuk perempuan yang baru saja menjadi Istriku.
____
Sayang, telah sembilan puluh sembilan pucuk surat ke dalam rimbamu ku alamatkan.

Berbaris-baris pujiku atas bertumbuh rasa dan berbunga hati yang tak bisa dieja bahasa.

“Sejuta rasa, sejuta cinta, sejuta kasih dan sejuta bahagia.”
Ya, sejuta, sayang.

Kata sejuta, kerap kali dipakai para penyair-penyair besar itu untuk mendiksikan kesempurnaan.
Maka sebagai pertanda aku yang luput dari sempurna, aku memaharkanmu rupiah;

sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan.
Sebab ialah kamu angka satu yang menggenapkan sejutaku.

Ialah dirimu yang menyempurnakan ketidaksempurnaanku.

Seperti penyakit yang menemukan obatnya,
pasien yang menemukan dokternya,
 murid yang menemukan gurunya,
bahagiaku lebih dari itu saat aku menikahimu, sayangku.
Ada sakit yang sembuh seketika.
Ada hembus surga yang menghempas panas neraka.
Ada pintu-pintu berkarat dan terkunci rapat dengan mudah terbuka.


Terimakasih atas ketidaksempurnaan yang ternyata bisa kamu terima dengan jantung hatimu tanpa kompromi, hingga sempurna ini tak lagi sebatas mimpi.

Tanggal sembilan bulan sembilan dua ribu tujuh belas. Dari lelaki bernama Deni, yang setelah surat ini terbaca segera kamu panggil 'Suami'.

( Deny Joe, Jakarta 090917 )






NB : Puisi ini saya bacakan pada acara pernikahan saya, tepat setelah melakukan Akad Nikah.

Jumat, 05 Agustus 2016

KARAT BELATI : MENIKAMMU MEMBUNUHKU



KARAT BELATI : MENIKAMMU MEMBUNUHKU.
Secoretan celoteh, kolaborasi Shally Kabelen dan Deny Joe

            Aku ingin membunuhmu, melibaskan ujung kesakitanku tepat dihatimu. Deru deru pelurumu mengoyakku, Telah jatuh tersungkur aku disana sembari menatap kekejianmu yang terus menghunus lukaku. Aku telah menyiapkan belati di balik gaunku, dan menggenggamnya tanpa gemetar. Gaun yang aku pakai saat kita berlutut di bawah atlar, dalam janji suci yang terdengar menggelegar. Aku tak tahu, kalau ternyata kepedihan dan luka yang kau antar. Aku menghadapimu tanpa gentar, berharap suatu ketika ada sejuntai bahagia terhampar.
            Sayang, ini adalah belati yang selalu aku pakai untuk mengupas buah apel kesukaanmu. Kini akan aku gunakan juga untuk mengupas kulit kepalamu, membelah tengkorak kepalamu, mengeluarkan otakmu, kemudian ku hujamkan disela dadamu tanpa henti hingga jemu.
            Perempuan kuat dan tak terkalahkan, adalah perempuan yang menyimpan dendam. Itu aku, dan kini kamu berhadapan denganku. Ah, seandainya aku bisa menjadi aku yang seperti itu, aku yang berani menghapus jiwamu dalam kecintaanku akan kamu. Belatiku hanya bisa kuacungkan pada segelintir ingatanku tentangmu, tapi tahukah kamu, membinasakan senyummu dari ingatanku saja aku tak mampu. Aku terlalu membiarkan kamu melenggang dalam pikirku.
            Beri aku waktu sebanyak kamu memberi dirimu waktu untuk menggores tangisku. Yang terberani memporak porandakan isi kepalamu dengan belatiku. Yang paling terdendam dengan eksistensimu.
            Dalam rongga kepala yang kini menyempit. Ingatanku atas lakumu masih saja mengapit. Sementara tangisku yang mengaing seperti anjing yang terjepit, telah berubah menjadi lolongan serigala purnama yang menjerit. Hembus nafas pedulimu kini semakin semu. Aku semakin ingin mematikanmu. Kamu, dengan kejimu telah membuat riwayat hidupku menjadi gawat. Kini, kubiarkan belati di balik gaunku diselimuti karat. Agar perih saat aku perlahan-lahan menyayat, membawamu musnah dengan perih yang sama sampai ke akhirat.
            Sebenarnya ada dimana letakku, mencintaimu atau membencimu? Keduanya sama sama merajaiku dalam satu waktu. Aku ingin membunuhmu sekaligus aku ingin mengecupmu dengan gemerlap kerancuan rasaku.
            Berdiri disitu! Diam disitu! Dan berpura pura tetap mencintaiku sampai kebencian berhasil menentukan pilihan untuk membunuh atau menikmatimu.
 __________
Jogjakarta-Bekasi, Agustus 2016

Rabu, 22 Juni 2016

KEPADA SEMAR




KEPADA SEMAR
Sibukku masih menyibak dan menyimak sebuah catatan usang,
berdebu pun bau.
Jika dalam suatu ketika kau terbangun,
maka tuntunlah Aku.

Seperti Jawa yang hilang sukma;
Aku kini kehilangan separuh nyawa.
Jika kau terjaga,
berilah Aku mantra cintamu.

Seperti Jawa yang kehilangan leluhurnya;
Aku kini kehilangannya.
Dalam bumi yang telanjang penuh fatamorgana.
Aku kehilangan Badra, Badranaya.

Denyjoe 15:40, 210116


Illustration by Denyjoe

Jumat, 18 Desember 2015

CERITA OBOR





CERITA OBOR
Sebuah cerita pendek oleh : Denyjoe

            Yang saya ingat, dia ingin menyalakan saya, dia ingin membakar saya.

            Saya terbuat dari bambu yang rapuh, minyak tak banyak, dan sumbu yang cepat sekali menjadi abu. Saya belajar menjadikan apa yang ada dalam diri saya sebagai sebuah kekuatan, kekuatan untuk membakar diri, kekuatan untuk memberikan cahaya untuk dunia saya yang memang gelap dan penuh ketakutan.
            Tak begitu ingat, yang masih membekas dalam ingatan saya ada sepasang kekasih dalam gemerlap dunianya ingin membuat pelita, apa daya tangan mereka hanya dapat merengkuh bambu, memotongnya, memberi sumbu dan kemudian memberi minyak. Ya, mereka hanya bisa menciptakan saya. Menciptakan obor. Tapi entah dengan alasan apa beberapa waktu selanjutnya saya dipaksa mencari api sendiri, api yang seharusnya diberikan oleh orang yang telah membuat saya. Saya tak bisa protes, apalagi kompromi. Mereka pergi tanpa ada satu diantaranya yang peduli dengan keberadaan saya, kenapa saya dibuat jika untuk diacuhkan, kenapa saya diadakan jika hanya dihadiahi ketidakpedulian. Saya tak pernah diberi api, jangankan api, kehangatanpun tidak. Saya membeku dalam lanjutannya kemudian.
            “Apakah saya ditakdirkan untuk tidak benderang?”
            Saya mencemooh diri yang dirasa tak sepatutnya pudar, ketika pameran cahaya terang berkelip-kelip indah dari ujung kiraban api sebaya saya. Berontak tak kuasa, menjerit payah tak juga tersuarakan meski resah. Saya benar-benar ingin membelah bambu tubuh saya, merautnya tipis, menjadikannya hinis. Mengiris nadi dilengan kiri tanpa miris. Dapatkah saya melakukanya? Sementara buliran air yang mengalir melalui tangis dengan leluasa memadamkan bara saya. Saya tak pernah meminta untuk menjadi pelita, pun tak pernah meminta untuk menjadi jelita. Ya, saya ada karena perbuatan mereka yang percaya bahwa pelita hadir sebagai balasan setimpal dari para pecinta. Percaya saja, yang justru ada tanpa diminta dari cinta adalah derita.

            Saya masih ingat, dia ingin menyalakan saya, dia ingin membakar saya.

            Menyusuri setapak tak berjalur, berliku tak terukur. Memapah langkah yang lemah bertudung amarah. Tanpa henti saya mencermati bagaimana jadinya jika sumbu saya tersulut api? Menyalakah? Terangkah? Atau tak bereaksi ketika sumbu saya memang teramat basah, bukan dengan minyak tapi air mata yang kerap membuncah. Bagaimanapun, tentu saja saya mengandung minyak, bahkan dengan tambahan energi yang banyak bisa saja saya meledak. Itu saya tak ingin, saya cuma mau saya disulut api yang tepat, menyala tanpa terhambat, dan menerangi dengan penuh rasa hormat sampai riwayat benar-benar tamat.
Saya masih mencoba belajar memaknai banyaknya pilihan api. Adakah diantaranya yang akan membebaskan saya dari kengerian sepi, adakah yang akan menghadiahi saya bahagia tak bertepi, adakah yang akan memberikan saya keikhlasan tanpa tapi. Satu persatu perlahan mengurut jenisnya, mencoba mengenali , meski pada akhirnya tangan saya seakan terbakar seringkali. Panas sekali.
            “Hey.. Saya adalah api yang pantas berkibar dalam mahkotamu!”
            “Hey.. Saya adalah api yang dengan benar akan membuatmu bersinar!”
Sungguh tak pandainya saya memilih api. Lihatlah, beberapa bagian tubuh menghitam oleh buruknya perlakuan saya terhadap beberapa api yang mencoba menawarkan dirinya sebagai peredam dendam. Tak jarang juga saya benar benar terbakar, dalam balutan janji-janji api yang masih saja mengandung ingkar.

            Akan selalu saya ingat, dia ingin menyalakan saya, dia ingin membakar saya.

            Adalah api dengan sabarnya mencairkan kebekuan saya, dengan tekunnya menghangatkan kedinginan saya, dengan tulusnya mengajarkan saya makna cahaya. Benarlah api, meski dengan begitu sabarnya Ia, ternyata saya sudah tenggelam dalam kebekuan, meski dengan tekunnya Ia, saya masih bertanya seberapa pentingnya cahaya. Terlalu bebal tubuh saya membangun kepekaan, mungkin saya butuh tumbal hingga rongga-rongga tubuh saya yang terbakar bisa benar-benar rapat tertambal.
            Adalah api yang dengan sepengetahuan saya bukan berasal dari matahari, tapi kemilaunya benar-benar mampu menembus jantung saya bagai ribuan panah berduri. Maka dengan sadarnya saya kemudian berkeinginan menghampiri, berkeinginan memahami, berkeingginan menguasai, berkeinginan memiliki. Saya memang ingin semua bagian dalam diri saya terisi dengan sebuah makna yang pasti, dengan sebuah kegunaan yang bisa diandalkan. Mungkin dengannyalah saya bisa dengan sebenar-benarnya menjadi diri saya, menjadi obor yang berkibar penuh gagah memancarkan cahaya. Menjadi pelita.
            “Ini semua karena kau! Saya tak pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya saya jika tak pernah ada jumpa dengan kau, Api”
            “Kini kau telah menjadi dirimu, saya tak merasa berjasa karena saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Maka kubiarkan kau menjadi dirimu.”
            Lihatlah, ujung sumbu saya menyala berkobar-kobar mengandung ribuan cahaya yang bertebaran, pandangan mata menjadi semakin panjang meski waktu semakin karam dalam malam. Saya tak menyangka bahwa akan ada api yang benar-benar bisa pas dengan karakter minyak dan sumbu saya. Api ini tak hanya memberikan terang bagi jalan saya, tapi juga memberi tenang dengan hangatnya. Saya telah menyala. Saya telah bahagia.

            Dia tidak ingin menyalakan saya, dia hanya ingin membakar saya.

            Dasar bambu dan sumbu yang mudah sekali menjadi abu, dasar minyak yang mudah sekali hilang, habis dan tak lagi tampak. Perlahan saya membatasi tubuh saya dari apa yang sebenarnya dulu saya impikan. Saya tak lagi hirau dengan cahaya yang saya ciptakan bersamanya. Saya tak lagi peduli dengan semua kehangatan yang saya juga ciptakan bersamanya.
            “Kita ini obor, tak akan ada gunanya api jika tanpa kita, mereka hanya akan berubah menjadi bencana.”
            Ya, saya mulai tergerus dengan egoisme saya bahwa sayalah yang paling berperan menciptakan cahaya. Sayalah yang membuat api benar-benar bertahan menyala. Jadi cahaya itu milik saya, kehangatan itu punya saya.

Tak akan saya sesali, dia telah menyalakan saya, dan saya telah menjadi cahaya.

___________denyjoe 2015

Kamis, 26 Maret 2015

SEMOGA


SEMOGA

Memulai hari ini dengan sebuah kata ‘Semoga’.
Tak pernah nalar menau syaratkah akan makna.
Bimbang arah megalir seiring desing kereta butut di stasiun yang kumuh.
Aku merangkul dada sesak, memulai tuk tak mengeluh.

Sesaat matahari merangkak, kembali terucap kata ‘Semoga’.
Mengerut dahi yang bergaris, tapi logika kenapa mencerna.
Telapak kaki tak bergerak terbawa arus sesak manusia.
Aku angkatkan tangan, mungkinkah kan menyerah?.
SEMOGA TIDAK!.


Denyjoe : 09 Januari 2011

Kamis, 12 Maret 2015

HUJANLAH AWAN


HUJANLAH AWAN

Sebuah Cerita Pendek Oleh Denyjoe

Langit dengan giatnya mengumpulkan rayuan tanpa lelah, meski matahari tidak memberi celah kepada lautan untuk menguap. Tapi dengan gigihnya langit mengumpulkan sedikit demi sedikit kelemahan hingga akhirnya tak sadar air telah menjadi uap, menjadikannya awan. meracuninya dengan amarah, membumbuinya dengan benci.
“Kau tahu, kita adalah pemenang! Kita adalah yang tertinggi!”. Begitulah langit mencoba memenangkan hati awan.
“Kau sengaja dipisahkan Tuhan dari lautan, lautan tak memberimu apa-apa kecuali gelisah berkepanjangan. Disesatkan arus dalam dunia yang sempit, mengitari pulau yang tak begitu luas. Lihat, dari atas sini bumi begitu kecil bukan? Lihat dengan jelas!”. Tambah langit.
            Awan masih belum bisa banyak bicara, Dia bertanya dalam hati, apakah benar bahwa kini dia telah menjadi awan? Awan masih ada dalam ketidaksadarannya, ketidak tahuannya, dan dalam kebingungannya. Awan masih belum terbiasa dengan wujudnya sebagai awan. Meski semenjak dulu dia ingin sekali menjadi awan. Ingin sekali terbang tinggi, ingin sekali melayang mengangkasa, membentangi cakrawala.
            “Apa yang sedang kau pikirkan Awan?” Tanya Langit.
“Apa benar aku sudah menjadi awan? Dan aku adalah Awan?” Awan balik bertanya.
“Ya.. lihatlah.. disekelilingmu bertaburan bintang, kakimu sudah tak lagi menapak. Kini kau telah berada diatas. Kini kau adalah pemenang, kau adalah pemenangnya!”.
Tiba-tiba mata awan berbinar, sepertinya sekarang dia telah meyakini bahwa dirinya adalah awan. Seolah semua yang dulu hanya sekedar menjadi mimpi dan angan-angan kini benar-benar ada didepan matanya. Kini benar-benar ada dalam genggamannya. Setiap waktu bisa dengan leluasa menatap kemanapun, melihat apapun.
Mengawang-awanglah awan, seperti tertuntaskan semua dendam. Merasa puas atas apa yang ada dalam genggaman saat ini. Bagaimana tidak, bintang yang dulu hanya bisa digantungkan dilangit-langit kamar rumahnya yang sekarang bukan rumahnya saat ini langsung bersentuhan dengan kepalanya.
“Bagaimana? Disini indah bukan?”
“Inilah yang aku cari selama ini.”
Langit memang pandai sekali menyusup, belum lama awan menjadi awan langit langsung membuatkan tempat yang indah penuh keleluasaan dan kebebasan. Penuh dengan semua atribut pemuas ketidakpuasannya dulu.
“Disinilah tempatmu.”
“Terimakasih telah membawaku kesini, ketempat ini.”
“Sebentar, aku juga punya sesuatu untukmu.”
“Apalagi yang akan kau berikan padaku.”
“Ini adalah pita pelangi. Dia akan mengindahkanmu.”
“Pelangi? Kenapa hanya berwarna ungu? Bukankah pelangi terdiri dari tujuh warna seperti yang guru ilmu alam ajarkan? Atau minimal tiga warna seperti yang guru kesenian ajarkan, dalam nyanyiannya?.”

*****

Pria telah membenci hujan, sebelum dia kenal bahwa ketika langit gelap dan menurunkan air itu adalah hujan.

Kali ini dia merasa bahwa hujan memang pantas untuk dibenci, dimusuhi, dan diperangi. Bagaimana tidak, sekitar dua jam dari sekarang Pria dan kekasihnya : Gadis namanya ; akan segera bertemu sesuai dengan perjanjian. Setelah sekian lamanya Pria menunggu waktu, menghitung detik demi detik pertemuan dengan gadis yang sudah sebulan ini menghilang tanpa kabar. Pria cuma ingin tahu apa yang membuat Gadis tak berkabar. Pria cuma ingin menerima hukuman setimpal kalau memang Gadis pergi akibat dari semua kesalahan-kesalahan Pria. Pria ingin sekali kembali menawarkan mimpi memeluk gunung, mencubit bintang, menjilat matahari, meminum samudra.
            “Kenapa mesti hujan, aku lebih memilih kemarau yang panas penuh gairah!”
            Sejak kapan alam bisa diajak kompromi? Alam telah punya ketentuanya sendiri. Kita yang harusnya bisa berkompromi dengan diri kita, dengan sesama kita. Agar kita bisa bersinergi secara elok dengan alam.
“Mana ada kompromi untuk sekarang? Aku akan melawanmu!”
Bergegas Pria memacu motornya, kencang tak seperti biasanya. Dia telah menerobos hujan yang menghalangi niatnya. Pria melawan hujan. Yang ada dikepalanya hanyalah Gadis, ingin sekali Pria segera sampai kedepan gadis, dan mengucapkan salam. Mencium keningnya yang lebar, menggenggam tangannya yang lembut. Dingin yang dibuat hujan tak lagi terasa, hangat cinta gadis seolah telah membuat badan Pria menjadi tahan air, tahan dingin.
Butiran hujan masih terus merajam tubuh Pria, terus menerus tak berhenti seperti senapan mesin yang sedang mengeksekusi terhukum mati. Pria tak hirau, beberapa kali pria mengusap kaca helmnya yang mengembun.
            “Jangankan hujan air, hujan batupun akan aku retas. Asal rinduku yang segunung bisa terbebas dan tuntas.”

*****

Setelah terdiam beberapa saat, dan langit belum menjawab pertanyaan awan. Awan berkata : “Tunggu sebantar, bukankah pelangi baru ada setelah hujan? Sementara hujan akan menjatuhkanku! Aku tak ingin pelangi Langit! Aku tak ingin kembali jatuh!”

*****

            Ponsel dikantong celana Pria tiba-tiba bergetar, mungkin juga bordering tapi tertutup oleh suara hujan yang kendaraan besar yang bising di belakang motor Pria. Tak berhenti, dan terus menerus bergetar. Pria meyakini bahwa panggilan itu datang dari Gadis, Gadis yang sedang menunggu kedatangannya.

*****

“Untuk apa kau membawaku kesini, dan memberikan semua ini kalau kau akan membiarkanku jatuh?.”
Perlahan tubuh awan mulai memberat dan mulai menghitam. Langit tak bisa berbuat banyak, dia hanya memandangi awan yang sekarat. Senyum manis langit berubah menjadi bengis, sementara awan terus meronta minta diselamatkan.
“Langit! Tolong aku! Aku tak mau menjadi hujan, aku tak mau jatuh!”
Langit hanya bisa terdiam, sesaat kemudian langit tertawa terbahak berbentuk petir, matanya menyala memancarkan kilat.

*****

Pria kaget bukan kepalang, getaran dari ponselnya beradu kuat dengan petir yang menyambar-nyambar. Hujan makin menutupi pandangannya, dan Pria masih melaju dengan kencang.

*****

Awan tak kuasa menahan berat tubuhnya yang telah menghitam. Perlahan badan awan menjadi basah, Seketika awan mencair menjadi hujan yang lebat dan jatuh dari tempat yang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi daripada dulu dia pernah dibuat jatuh saat menjadi air laut.

*****

Pria tak bisa mengendalikan motornya, dia terpeleset licinnya jalan yang disebabkan oleh begitu lebatnya hujan. Pria terjatuh. Kendaraan besar beroda banyak dibelakang tak mampu menghindari pria. Lalu sesaat kemudian terdengar suara benturan keras, teriakan, lolongan, gemuruh hujan, dan gelegar petir.


gudangkubus, 26 Februari 2015 | 11:32 PM


Senin, 09 Maret 2015

MATIKAN (SEREBRAL)

MATIKAN (SEREBRAL)



            Tubuh ini kini hanyalah kerangka kekosongan, kau dengan begitu saja pergi membawa serta semua isinya. Aku bisa apa? Kuasa yang menjulang-julang tinggi mencakar langit tak bisa lagi merengkuh hatimu yang terbang bersama awan yang lebih tinggi. Membentuk pelangi, mewarnai langit. Sementara lukisanku yang sebentar lagi selesai, kau tinggalkan dan kau biarkan hitam kelam tanpa warna. Tanpa keindahan, yang sebelumnya dengan sangat hati-hati kita warnai.
Dimana kau? Sejuta jalan telah dengan sabarnya kutelusuri. Tak juga kutemui dirimu yang tengah bersembunyi.
Dimana kau? Sejuta cara telah kucoba untuk kembali membuka hatimu yang telah terkunci. Tak juga kau biarkan aku masuk meski telah kuhabiskan semua anak kunci.
            Langkah demi langkah telah dan terus dikerah. Hingga kaki berlumur lebam, dan berselimut darah. Aku tak kuat lagi berjalan dan terlalu lelah. Tak ada lagi yang memapah meski seumur hidup telah diabdikan untuk memapah.
Dimana kau mataku? Aku tak bisa lagi melihat meski mata elang telah diwariskan ibuku sebagai buah kasih dengan bapakkku.
Dimana kau telingaku? Aku tak bisa lagi mendengar meski telinga lumba-lumba dengan kekuatan mendengar ultrasonic seperti diajarkan bapakku yang selalu peka mendengar gelisah ibuku.
            Semua indera kini telah mati. Mungkin akupun telah mati.
            Ya, sebenarnya aku telah mati, ketika kau putuskan untuk pergi dan tak kembali : nyawaku. Tapi kau harus percaya, bawa yang tak akan mati dan akan terus hidup abadi adalah rinduku, adalah cintaku. Dan jikalau itu semua pun harus mati, tak apa. Karena telah kuputuskan bahwa hanya kau yang berhak membunuh cintaku, mematikan rinduku.
            Biar rindu ini akan ku lunasi dengan menunggumu dalam himpitan sesak tanah dimana aku telah menyatu dengan muasalku. Diantara nisan yang bertulis namaku, nama yang sama seperti dulu orangtuaku menuliskannya di akta kelahiranku. Semoga bisa terukir namaku dalam sebuah batu keabadian, seperti ku pahat juga namamu di dinding jantung hati penuh haru, dan rindu yang memburu.

Denyjoe | Gudangkubus, 6 Maret 2015 | 12:49am